Header Ads

Krisis Palestina dan Ilusi Politik Luar Negeri AS

Oleh: Kusnady Ar-Razi


Pidato Obama yang beberapa waktu lalu meramaikan halaman media cetak maupun media elektronik di seluruh dunia memang mengundang sejumlah tanda tanya. Dari Departemen Kementrian Luar Negeri AS, Obama dengan begitu meyakinkan (dalam pidatonya) mendukung solusi dua negara Palestina. Bahkan, Obama menghendaki Israel untuk segera menghentikan perluasan permukiman Yahudi. ''Masing-masing negara memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, saling mengakui, dan perdamaian,'' kata Obama. Tetapi benarkah AS ingin mengakhiri krisis Palestina? Lalu solusi apa sebenarnya yang dikehendaki AS?

Seolah ingin membangun citra baik, Obama dengan begitu lihainya menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa AS menginginkan perdamaian di Palestina. Padahal kita tahu, Israel tidak akan kuat eksistensinya jika tak didukung AS. Israel juga tak akan begitu intensifnya menggempur Palestina jika AS tidak menyuplai teknologi senjata super canggih dan biaya perang yang tinggi. Sejak awal mula terpilih sebagai orang nomor satu di AS, Obama telah memberikan komitmennya untuk menjaga eksistensi Israel. Di depan AIPAC, Obama menentang setiap upaya PBB untuk menciptakan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat untuk rakyat Palestina. “Tidak ada suara di PBB yang akan mewujudkan sebuah negara merdeka Palestina,” ujar Obama saat itu. Dengan komitmennya ini, AS ingin menjaga superioritas militer Israel yang melakukan pendudukan selama puluhan tahun.

Kebijakan luar negeri AS tidak pernah berubah dalam memandang krisis Palestina. Janji Obama di AIPAC seakan seperti warisan perkataan Colin Powel pada tahun 2001 yang mengatakan, “Sungguh kami telah berada di pihak Israel sejak berdirinya dan kami akan selalu bersama Israel sepanjang sejarahnya.” Hal ini juga menjadi kebijakan umum luar negeri AS era Obama, seperti yang dikatakan obama di saat terpilih menjadi presiden, “Biarkan saya jelaskan: Amerika berkomitmen pada keamanan Israel. Dan kita akan selalu mendukung hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata. Selama bertahun-tahun, Hamas telah meluncurkan ribuan roket kepada warga Israel yang tak berdosa. Tidak ada demokrasi yang bisa menerima bahaya seperti ini bagi rakyatnya, tidak pula komunitas internasional, dan tidak juga rakyat Palestina sendiri, yang kepentingannya telah terabaikan karena aksi teror. Sebagai pihak yang benar-benar menghendaki perdamaian, Kuartet [AS, Rusia, Uni Eropa, PBB] telah menegaskan bahwa Hamas harus memenuhi syarat yang jelas ini: akui hak eksistensi Israel, hentikan kekerasan, dan patuhi perjanjian [antara Israel-PLO/Otoritas Palestina] yang telah dibuat di masa lalu.”

Dalam pidato pada kamis malam itu, Obama memang terlihat tegas terhadap Israel. Tetapi, ia selalu tetap mendahuluinya dengan kalimat yang menegaskan citra yang telah dibangun selama ini, America’s strong bonds with Israel are well-known. This bond is unbreakable (Ikatan kuat antara Amerika dan Israel sudah umum diketahui. Ikatan ini tidak bisa diputuskan). Itulah mengapa sebabnya para petinggi Israel tidak merasa gusar dan tetap dengan keras menolak pernyataan Obama yang meminta penghentian perluasan permukiman.

Seberapa pun tegasnya AS –sebagaimana yang tampak dalam pidatonya Obama- terhadap Israel soal pembangungan permukiman, kebjijakan umum dan dukungan terhadap negara Yahudi tersebut tidak akan pernah berubah. Jerusalem Post (20/5) mengutip pernyataan Wakil Menlu Israel, Danny Ayalon, yang mengomentari pertemuan Obama dan Netanyahu (18/5), “Kepentingan dasar dan objek AS di kawasan kami tidaklah berubah seiring dengan perubahan pemerintahan. Pendekatan dan nuansanya memang berubah, tetapi kepentingannya tetap sama.”

Saat Obama mengeluarkan pernyataan, “kita akan selalu mendukung hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata”, Noam Chomsky –seorang pengamat politik AS dari Harvard- memberikan komentarnya, “Hal itu [bahwa Israel berhak membela diri] adalah benar, tetapi ada gap dalam alasan. Israel berhak untuk membela dirinya. Tapi bukan berarti, Israel punya hak untuk membela diri dengan kekuatan senjata. Kita mungkin setuju untuk mengatakan bahwa tentara Inggris saat menduduki AS tahun 1776 berhak membela diri dari pasukan George Washington; tapi mereka tidak bisa membela diri dengan senjata karena mereka tidak berhak berada di sini [AS]. Mereka bisa membela diri dengan cara meninggalkan [daerah jajahan].”

Israel dicitrakan oleh AS selama ini sebagai negara di Timur Tengah yang terkepung di tengah-tengah negara Arab yang memusuhinya. Israel diposisikan sebagai negara yang yang terus-menerus membela dirinya dari gempuran serangan teroris, itulah sebabnya AS berkewajiban membantu Israel. AS dengan sengaja memutarbalikkan fakta lewat citra yang dibangunnya. Seluruh dunia juga tahu, bahwa akar krisis tersebut adalah pendudukan (baca: penjajahan) Israel atas tanah Palestina. Pendudukan yang diakui PBB sejak tahun 1947 telah merampas sebagian besar hak rakyat Palestina atas tanah mereka. Inilah penyebabnya yang dikatakan oleh Gideon Levy sebagai akar kejahatan Israel di Palestina. Pada tahun 1967, melalui perang enam hari Israel bahkan mencaplok seluruh wilayah yang semula menjadi ‘jatah’ Palestina dan Jerusalem Timur. Sebagian wilayah secara de jure memang dikembalikan kepada Otoritas Palestina melalui Perjanjian Oslo 1994, namun secara de facto tentara Israel masih terus bercokol di sana. Bertentangan dengan Konvensi Jenewa, Israel membangun permukiman-permukiman Yahudi di wilayah yang didudukinya.

Yang lebih menyakitkan, dengan perilaku tak tahu malu Israel mendatangkan penduduknya setelah membangun pemukiman di wilayah yang bukan hak mereka. Lalu mereka tinggal, setelah beranak pinak dan bertambah jumlah penduduknya mereka mulai mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari Israel. Masuk akal jika kemudian muncul resistensi dari rakyat Palestina dan serangan dari gerakan militer (seperti Hamas) sebagai bentuk upaya mempertahankan diri. Jika Israel ingin menyelamatkan diri mereka, seperti perkataan Noam Chomsky, hendaknya Israel bergegas angkat kaki dari tanah Palestina.

Bukan Solusi Dua Negara

Sangat sulit untuk percaya bahwa AS benar-benar tulus mewujudkan negara merdeka Palestina. Sebab bagi elit politik Israel, berdirinya negara Palestina adalah sesuatu yang menakutkan. Ketakutan mereka bukan tanpa alasan. Israel berargumen, Tepi Barat dan Tel Aviv hanya berjarak 8 mil yang memudahkan kelompok-kelompok militer Palestina melakukan tindakan yang mengancam keamanan Israel. Para elit politik Israel akan terus bersikeras menjegal upaya perwujudan negara Palestina. Di AS sendiri, setiap pemegang kebijakan tak mungkin mengabaikan suara lobi Yahudi yang tak pernah setuju terhadap perjanjian damai.

Jadi solusi dua negara bukanlah solusi yang tepat. Akar krisis Palestina hakikatnya adalah perampasan tanah Palestina yang didukung AS, Inggris dan PBB. Sepanjang sejarah pendudukan Israel, negara tersebut telah beberapa kali melanggar janji. Israel memang tak pernah berniat untuk mewujudkan perdamaian hingga Palestina dikuasai seluruhnya.

Segala bentuk perjanjian damai dengan Israel haram hukumnya dalam pandangan Islam. Karena perjanjian damai atau solusi dua negara berarti memberikan pengakuan terhadap keberadaan Israel yang telah menjajah Palestina dan membunuh ribuan kaum Muslim selama puluhan tahun. Umat harus segera sadar bahwa menyelesaikan krisis Palestina tidak bisa berharap pada AS dan tidak pula pada para penguasa pengkhianat. Kita menghadapi negara-negara imperialis yang tak bisa dilawan kecuali dengan negara besar. Seperti yang kita dapatkan dalam catatan sejarah, Khilafah sebagai negara besar kaum Muslim di masa Shalahuddin telah mampu mendeportasi pasukan salib satu persatu ke alam baka. Palestina pun saat itu bebas untuk yang kedua kalinya.

Sebagai tanah kharajiyah, Palestina baru bisa dibebaskan dari cengkeraman Israel dengan Khilafah bukan berharap pada para penguasa boneka yang despotik apalagi pada lembaga internasional yang tidak sedikitpun memihak kaum Muslim. Hubungan dengan Israel bukan lagi hubungan diplomasi, karena bangsa barbar seperti mereka hanya memahami bahasa perang. Darah harus dibalas dengan darah, perang harus dibayar dengan perang. Maka untuk melenyapkan eksistensi Israel dari peta dunia hanya bisa dilakukan dengan satu cara, yakni Jihad fi sabilillah yang digerakkan secara massif oleh Daulah khilafah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. []

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.