Muhasabah : Para Tokoh dan Ulama Tolak Sertifikasi Ulama
Muhammad Rahmat Kurnia (DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Di tengah maraknya sertifikasi guru dan dosen, muncul istilah sertifikasi ulama. Itulah yang diminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Untuk menanggulangi terorisme, ulama perlu disertifikasi. Tentu di dalamnya termasuk kiai, ustadz, mubalig dan sebagainya.
Respon pun bermunculan. Ada yang menanggapi dengan nada heran, marah, bahkan politis-ideologis. Ketua Pengurus Besar NahdLatul Ulama (PBNU), Slamet Effendi Yusuf, saat bertemu saya menyampaikan dengan ringan sambil tertawa kecil, “Lucu…!”
Wakil Sekjen PBNU, Imdaddun, mengatakan dengan ringkas, “Yang mboten-mboten mawon …”
Sikap ini menjelaskan bahwa Pemerintah panik sampai terpikir untuk menyertifikasi ulama. Menggelikan. Tidak mengherankan, Pengacara Senior dari Tim Pengacara Muslim (TPM), Mahendradatta, dengan nada guyon menyampaikan, “Ya, nanti diuji petik di Klender, terus yang lulus bujurna ditempel kir, sarua jeung colt pick up, nya…”
Ketua Umum Sarikat Islam, Djauhari, punya pandangan mirip. Beliau menyampaikan kegeramannya, “Tidak ada logikanya sertifikasi ulama bisa diterapkan. Ngawur itu! Hanya menghabiskan waktu saja.”
Tentu, untuk menghalang-halangi perjuangan ulama yang lurus, musuh-musuh Islam akan rela menghabiskan waktu, tenaga, bahkan biaya. Benar apa yang dikatakan oleh Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Zahir Khan, kepada saya beberapa waktu lalu, “Jelas harus ditolak karena ini merupakan usaha terselubung untuk membatasi tokoh-tokoh Islam dalam segala kegiatannya.”
Bahkan dengan tegas, politisi kawakan dan mantan anggota DPR Abdillah Thoha menyampaikan, “Jelas, ini pemikiran tidak benar. Siapa yang akan menyertifikasi pihak/lembaga/orang pemberi sertifikat?!”
Hal senada disampaikan oleh Bendahara PP Muhammadiyah. Pak Anwar Abbas, sapaan saya kepada beliau, memberikan pertanyaan-pertanyaan retoris, “Kalau ulama disertifikasi, siapa yang berhak melakukan sertifikasi tersebut? Apa kompetensi dia menyertifikasi? Siapa yang akan menyertifikasi Quraisy Shihab, KH Ma’ruf Amin, misalnya? Apakah nanti tidak terjadi sogok-menyogok dan ketidakjujuran? Ini jadi lucu. Ulama terlibat dan dilibatkan dalam masalah menyuap.”
Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah, Helmi M Burin, mengungkapkan pandangan senada, “Ya, jelas sertifikasi ulama tidak perlu karena ini perkara mengada-ada.”
“Bagaimana dengan pendeta, biarawan, dll; perlu juga disertifikasi?” lanjutnya.
Penolakan terhadap sertifikasi ulama memang merata dari semua kalangan. Zulkifli dari al-Ittihadiyat menyampaikan dengan nada keras, “Orang Indonesia jadi hamba asing, golongan budak!” Hal ini wajar belaka, sebab penyertifikasinya pemerintah sekular. Tentu, hasilnya adalah anti-Islam. Itulah yang disampaikan oleh salah seorang petinggi Partai Bulan Bintang, Fuad Amsyari.
Oleh sebab itu, rencana sertifikasi ulama itu merupakan sikap yang tidak bijak, bahkan mengandung rencana busuk. “Gagasan itu tidak bijak dan kontraproduktif bagi BNPT sendiri,’ ujar Ichwan Sam, Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), beberapa waktu lalu kepada saya.
Bukan sekadar tidak bijak. Rencana sertifikasi ulama lebih mencerminkan ketidakpahaman BNPT tentang kedudukan ulama. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Ryaas Rasyid, menyampaikan pandangannya, “Itu ngawur, Pak Rahmat. Hal ini mengindikasikan tiga hal, yaitu: (1) penggagasnya tidak memahami kedudukan ulama dalam Islam yang dasarnya adalah pengakuan umat, bukan pengakuan penguasa; (2) mengukuhkan asumsi selama ini bahwa aparat keamanan menganggap Islam, ulama, dan pesantren terkait langsung dengan apa yang mereka sebut terorisme; (3) menunjukkan kegagalan aparat keamanan memahami bahwa penyebab utama yang mendorong perilaku ekstrem dalam masyarakat adalah kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan pendidikan.”
Dasar lain yang melatarbelakangi sertifikasi ulama adalah kebencian terhadap Islam. Hal ini disampaikan oleh KH Nazri Adlani (mantan Ketua Umum al-Ittihadiyah). Kiai sepuh yang tetap energik ini mengungkapkan dengan tegas, “BNPT itu mengada-ada dan sarat kebencian terhadap Islam. Sebab, dia tidak memahami Islam dengan benar, hanya berbicara mengenai perilaku segelintir orang yang juga tidak memahami Islam secara utuh. Dia juga tidak tahu siapa yang berhak menyandang predikat ulama sebagai waratsatul anbiya’. Ulama tidak perlu sertifikat atau disertifikasi. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah sebagaimana dijelaskan dalam surat ar-Rum ayat 21.”
Hal ini wajar belaka, sebab upaya perang melawan terorisme (war on terrorism) memang merupakan agenda AS. Salah satunya adalah menghabisi dakwah Islam melalui pengebirian sikap ulama lewat sertifikasi. Ketika saya bersilaturahmi ke rumahnya, Presiden Konfederasi Serikat Nasional, Daryoko, mengomentari dengan geram, “Ini kan suruhan Amerika. Padahal, ada hadis, ‘Sampaikanlah apapun yang berasal dariku sekalipun hanya satu ayat (ballighû ‘annî walaw âyat).’ Berarti, hadis ini harus disertifikasi juga, dong. Memang kelakuan kapitalis ujung-ujungnya penghancuran Islam.” Hal senada diungkapkan oleh pengurus pusat Front Pembela Islam, Awid, dengan mengatakan, “Jelas, kita menolak sertifikasi ulama. Ini berarti mereka menganggap ulama dan Islam sumber teroris. Seharusnya, yang disertifikasi itu pejabat antikorupsi.”
Pandangan serupa disampaikan oleh Ketua Sarikat Islam, KH Amrullah Ahmad. Beliau memandang, “Usulan BNPT tentang sertifikasi ulama sudah merupakan bentuk campur-tangan lembaga negara sebagai cermin beberapa hal, yakni: (1) ada sikap paranoid terhadap gerakan dakwah; (2) pembatasan hak-hak kehidupan beragama; (3) pola pikir lama era Orde Baru untuk mengendalikan dan menghambat dakwah amar makruf nahi mungkar yang merupakan misi utama para ulama; (4) melestarikan kepentingan AS untuk menuntaskan penghambatan sikap kritis ulama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta penyadaran umat atas terorisme adidaya AS pada bangsa-bangsa lemah di dunia; (5) usaha mensubordinasikan ulama pada politik global; (6) melecehkan fungsi ulama dan sikap curiga pada ulama.”
Sikap para tokoh terhadap sertifikasi ulama sama: Tolak! Barangkali ungkapan Ketua Pemuda Persis, Taufik, bisa mewakili. “Kita harus tolak, tidak benar itu,” ungkapnya semangat.
Setelah penolakan masif dimana-mana, Ketua BNPT, Ansyaad Mbai, mengatakan, “Kami tidak pernah meminta sertifikasi ulama.” Padahal dalam berbagai kesempatan terlihat keinginan tersebut. Walhasil, wa makarû wa makaralLâhu walLâhu khayrul mâkirîn. Mereka membuat makar. Allah pun membuat makar. Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Wallâhu a’lam. [][www.al-khilafah.org]
Di tengah maraknya sertifikasi guru dan dosen, muncul istilah sertifikasi ulama. Itulah yang diminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Untuk menanggulangi terorisme, ulama perlu disertifikasi. Tentu di dalamnya termasuk kiai, ustadz, mubalig dan sebagainya.
Respon pun bermunculan. Ada yang menanggapi dengan nada heran, marah, bahkan politis-ideologis. Ketua Pengurus Besar NahdLatul Ulama (PBNU), Slamet Effendi Yusuf, saat bertemu saya menyampaikan dengan ringan sambil tertawa kecil, “Lucu…!”
Wakil Sekjen PBNU, Imdaddun, mengatakan dengan ringkas, “Yang mboten-mboten mawon …”
Sikap ini menjelaskan bahwa Pemerintah panik sampai terpikir untuk menyertifikasi ulama. Menggelikan. Tidak mengherankan, Pengacara Senior dari Tim Pengacara Muslim (TPM), Mahendradatta, dengan nada guyon menyampaikan, “Ya, nanti diuji petik di Klender, terus yang lulus bujurna ditempel kir, sarua jeung colt pick up, nya…”
Ketua Umum Sarikat Islam, Djauhari, punya pandangan mirip. Beliau menyampaikan kegeramannya, “Tidak ada logikanya sertifikasi ulama bisa diterapkan. Ngawur itu! Hanya menghabiskan waktu saja.”
Tentu, untuk menghalang-halangi perjuangan ulama yang lurus, musuh-musuh Islam akan rela menghabiskan waktu, tenaga, bahkan biaya. Benar apa yang dikatakan oleh Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Zahir Khan, kepada saya beberapa waktu lalu, “Jelas harus ditolak karena ini merupakan usaha terselubung untuk membatasi tokoh-tokoh Islam dalam segala kegiatannya.”
Bahkan dengan tegas, politisi kawakan dan mantan anggota DPR Abdillah Thoha menyampaikan, “Jelas, ini pemikiran tidak benar. Siapa yang akan menyertifikasi pihak/lembaga/orang pemberi sertifikat?!”
Hal senada disampaikan oleh Bendahara PP Muhammadiyah. Pak Anwar Abbas, sapaan saya kepada beliau, memberikan pertanyaan-pertanyaan retoris, “Kalau ulama disertifikasi, siapa yang berhak melakukan sertifikasi tersebut? Apa kompetensi dia menyertifikasi? Siapa yang akan menyertifikasi Quraisy Shihab, KH Ma’ruf Amin, misalnya? Apakah nanti tidak terjadi sogok-menyogok dan ketidakjujuran? Ini jadi lucu. Ulama terlibat dan dilibatkan dalam masalah menyuap.”
Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah, Helmi M Burin, mengungkapkan pandangan senada, “Ya, jelas sertifikasi ulama tidak perlu karena ini perkara mengada-ada.”
“Bagaimana dengan pendeta, biarawan, dll; perlu juga disertifikasi?” lanjutnya.
Penolakan terhadap sertifikasi ulama memang merata dari semua kalangan. Zulkifli dari al-Ittihadiyat menyampaikan dengan nada keras, “Orang Indonesia jadi hamba asing, golongan budak!” Hal ini wajar belaka, sebab penyertifikasinya pemerintah sekular. Tentu, hasilnya adalah anti-Islam. Itulah yang disampaikan oleh salah seorang petinggi Partai Bulan Bintang, Fuad Amsyari.
Oleh sebab itu, rencana sertifikasi ulama itu merupakan sikap yang tidak bijak, bahkan mengandung rencana busuk. “Gagasan itu tidak bijak dan kontraproduktif bagi BNPT sendiri,’ ujar Ichwan Sam, Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), beberapa waktu lalu kepada saya.
Bukan sekadar tidak bijak. Rencana sertifikasi ulama lebih mencerminkan ketidakpahaman BNPT tentang kedudukan ulama. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Ryaas Rasyid, menyampaikan pandangannya, “Itu ngawur, Pak Rahmat. Hal ini mengindikasikan tiga hal, yaitu: (1) penggagasnya tidak memahami kedudukan ulama dalam Islam yang dasarnya adalah pengakuan umat, bukan pengakuan penguasa; (2) mengukuhkan asumsi selama ini bahwa aparat keamanan menganggap Islam, ulama, dan pesantren terkait langsung dengan apa yang mereka sebut terorisme; (3) menunjukkan kegagalan aparat keamanan memahami bahwa penyebab utama yang mendorong perilaku ekstrem dalam masyarakat adalah kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan pendidikan.”
Dasar lain yang melatarbelakangi sertifikasi ulama adalah kebencian terhadap Islam. Hal ini disampaikan oleh KH Nazri Adlani (mantan Ketua Umum al-Ittihadiyah). Kiai sepuh yang tetap energik ini mengungkapkan dengan tegas, “BNPT itu mengada-ada dan sarat kebencian terhadap Islam. Sebab, dia tidak memahami Islam dengan benar, hanya berbicara mengenai perilaku segelintir orang yang juga tidak memahami Islam secara utuh. Dia juga tidak tahu siapa yang berhak menyandang predikat ulama sebagai waratsatul anbiya’. Ulama tidak perlu sertifikat atau disertifikasi. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah sebagaimana dijelaskan dalam surat ar-Rum ayat 21.”
Hal ini wajar belaka, sebab upaya perang melawan terorisme (war on terrorism) memang merupakan agenda AS. Salah satunya adalah menghabisi dakwah Islam melalui pengebirian sikap ulama lewat sertifikasi. Ketika saya bersilaturahmi ke rumahnya, Presiden Konfederasi Serikat Nasional, Daryoko, mengomentari dengan geram, “Ini kan suruhan Amerika. Padahal, ada hadis, ‘Sampaikanlah apapun yang berasal dariku sekalipun hanya satu ayat (ballighû ‘annî walaw âyat).’ Berarti, hadis ini harus disertifikasi juga, dong. Memang kelakuan kapitalis ujung-ujungnya penghancuran Islam.” Hal senada diungkapkan oleh pengurus pusat Front Pembela Islam, Awid, dengan mengatakan, “Jelas, kita menolak sertifikasi ulama. Ini berarti mereka menganggap ulama dan Islam sumber teroris. Seharusnya, yang disertifikasi itu pejabat antikorupsi.”
Pandangan serupa disampaikan oleh Ketua Sarikat Islam, KH Amrullah Ahmad. Beliau memandang, “Usulan BNPT tentang sertifikasi ulama sudah merupakan bentuk campur-tangan lembaga negara sebagai cermin beberapa hal, yakni: (1) ada sikap paranoid terhadap gerakan dakwah; (2) pembatasan hak-hak kehidupan beragama; (3) pola pikir lama era Orde Baru untuk mengendalikan dan menghambat dakwah amar makruf nahi mungkar yang merupakan misi utama para ulama; (4) melestarikan kepentingan AS untuk menuntaskan penghambatan sikap kritis ulama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta penyadaran umat atas terorisme adidaya AS pada bangsa-bangsa lemah di dunia; (5) usaha mensubordinasikan ulama pada politik global; (6) melecehkan fungsi ulama dan sikap curiga pada ulama.”
Sikap para tokoh terhadap sertifikasi ulama sama: Tolak! Barangkali ungkapan Ketua Pemuda Persis, Taufik, bisa mewakili. “Kita harus tolak, tidak benar itu,” ungkapnya semangat.
Setelah penolakan masif dimana-mana, Ketua BNPT, Ansyaad Mbai, mengatakan, “Kami tidak pernah meminta sertifikasi ulama.” Padahal dalam berbagai kesempatan terlihat keinginan tersebut. Walhasil, wa makarû wa makaralLâhu walLâhu khayrul mâkirîn. Mereka membuat makar. Allah pun membuat makar. Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Wallâhu a’lam. [][www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar