Header Ads

Mengapa OPM Membunuh Polisi Tidak disebut Terorisme ?

Dalam fenomena kasus pembunuhan di Papua Selasa (27/11/2012) Papua kembali mencekam setelah Markas Kepolisian Sektor Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua diserang oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Penembakan tersebut menyebabkan Kapolsek Pirime Ipda Rolvi Takubesi beserta anggotanya Briptu Daniel Makuker dan Briptu Jefri Rumkorem tewas di tempat dan Markas Kepolisian Sektor Pirime dibakar oleh gerakan separatis tersebut. Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Tito Carnavian menjelaskan, peristiwa itu terjadi Selasa 27 November 2012, sekitar pukul 06.00 Waktu Indonesia Timur. Ada tiga anggota polisi yang dibakar dan senjatanya dirampas. Polisi belum bisa memastikan siapa pelaku penyerangan itu. Kami sebut OTK (orang tak dikenal) tapi indikasinya OPM (Organisasi Papua Merdeka).



Permasalahan ini memang sangat menarik perhatian para pengamat dan masyarakat karena ada keanehan atau keganjilan. Diantaranya kejadian itu berdekatan dengan perayaan hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada Sabtu 1 Desember 2012. Kondisi terakhir menurut Juru bicara Polda Papua AKBP I Gede Sumerta Jaya sudah menetapkan 6 tersangka adalah KW (40), LK (22), TW (24), GK (35), DT (45), TT (17). Keenamnya ditangkap Kamis, 29 November 2012 di Kampung Muaragame, Distrik Pyramid, Kabupaten Jayawijaya. Sejumlah barang bukti di lokasi antara lain, dua bendera OPM Bintang Kejora, 989 kartu keanggotaan Tentara Pembebesan Nasional (TPN) OPM, bendera Amerika Serikat, bendera Inggris, bendera Papua Nugini, dan bendera Komite Nasional Papua Barat. (www.news.viva.co.id,senin/3/12/2012)

Sudah banyak pembunuhan polisi di papua, Kenapa tidak disebut sebagai tindakan terorisme? Ada dua alasan yang cukup dijadikan landasan kenapa semua itu tidak disebut sebagai tindakan terorisme meski berupa aksi teror dan menimbulkan suasa teror di masyarakat Papua. Pertama, adanya intervensi asing. Kedua kepentingan para politisi dalam negeri sehingga ada unsur pembiaran.

Pertama, adanya intervensi asing dari elemen diplomatik di luar negeri terutama dua organisasi yaitu ILWP (International Lawyer for West Papua) dan IPWP (International Parliament for West Papua). Keduanya bermarkas di Eropa (Inggris) dan diinisiasi serta dimotori oleh organisasi yang dipimpin oleh Beny Wenda, yaitu FWPC (Free West Papua Campaign). ILWP dan IPWP inilah yang diberi mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB (Komite Nasional Papua Barat) untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasionalisasi masalah Papua dan mendorong PBB untuk membahasnya baik dalam Majelis Umum atau dalam Komite Kolonialisasi.

Ini diperkuat pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto yang menduga ada kepentingan pihak asing di wilayah Papua. Hal ini terlihat bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada Sabtu 1 Desember 2012 dengan adanya Organisasi-organisasi yang selalu bersuara di luar negeri. “Pasti ada. Di luar negeri suara-suara seperti itu selalu digaungkan. Di Inggris kemarin juga ada, di Amerika masih ada”, ungkapnya (www.news.viva.co.id,senin/3/12/2012)

Kedua, kepentingan para politisi dalam negeri sehingga ada unsur pembiaran. Pemerintah tidak berani mengatakan ini tindakan terorisme karena pelakunya bukan orang Islam yang melakukan adalah masyarakat Papua, padahal terjadi penggabungan kekuatan politik hardpower dan softpower. Kekuatan politik hardpower (kekerasan elemen gerakan bersenjata) yaitu TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka). Selama ini TPN OPM inilah yang melakukan berbagai penyerangan dan kontak senjata di Papua, termasuk beberapa penyerangan pada akhir-akhir ini diduga adalah pihak OPM. Kekuatan politik softpower berupa elemen politik LSM-LSM dalam negeri atau organisasi yang menguatkan tuntutan referendum baik melalui berbagai demonstrasi, seminar atau aktifitas lainnya. Diantaranya adalah aksi demontrasi pada 1 Agustus 2011 yang dimotori oleh KNPB (Komita Nasional Papua Barat) di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari guna mendukung kemerdekaan Papua dan dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP.

Muncul pertanyaan mengapa pemerintah tidak melakukan tindakan tegas pada pemberontak OPM dan tidak menilainya sebaga aksi terorisme dan tidak memasukkan OPM sebagai organisasi teroris? Padahal aksi teror yang dilakukan oleh OPM apalagi dengan menembak aparat keamanan (Kapolsek Pirime Ipda Rolvi Takubesi beserta anggotanya Briptu Daniel Makuker dan Briptu Jefri Rumkorem) jelas merupakan teror dan menciptakan suasana teror di masyarakat. Namun demikian aksi-aksi teror itu tidak pernah disebut sebagai aksi terorisme. Sebaliknya, jika yang melakukan adalah Muslim meski dengan tingkat yang jauh lebih kecil dari itu, misal dengan tingkat ledakan mercon, niscaya disebut terorisme. Papua dengan diberikan otonomi khusus dari pemerintah pusat juga tidak mampu menyejahterkan masyarakat malah semakin rawan dengan gejolak kekerasan yang bersumber dari OPM. Ini menguatkan bahwa Indonesia tidak mandiri dalam mengamankan kestabilan nasional dan pilih kasih, tetapi kalau ada isu berlatarbelakang Islam dan pesantren langsung diisukan terorisme. Bila seperti ini, wajar kalau para pengamat dan masyarakat bertanya-tanya siapa dibelakang BNPT dan memperkuat anggapan bahwa memang ada intervensi asing disitu.

Pokok permasalahan terjadinya kekacauan di Papua disebabkan beberapa hal, yaitu pertama adanya keinginan dari sejumlah kelompok di Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia, juga ditunggangi oleh campur tangan asing, baik dari pihak Amerika, Inggris dan Australia, kedua ada sebagian pihak cenderung melakukan upaya maintenance agar Papua selalu bergejolak, yang nantinya ketika kepentingan mereka sedang terancam, mereka akan menggunakan isu OPM sebagai alat untuk mengganggu. Keterlibatan pihak asing di balik OPM terlihat sangat jelas sekali. Tidak mungkin OPM dapat dengan leluasa mendapatkan persenjataan serta memiliki ketahanan sekian lama kalau tidak ada kekuatan dukungan dari pihak luar. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus adil menanggapi dan menindak isu kekerasan. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap gerakan separatis termasuk OPM dan lembaga-lembaga yang menyerukan dan mendukung separatisme baik di luar maupun d dalam negeri. Pemerintah juga harus berani tegas terhadap intervensi-intervensi asingdalam segala hal. Hal itu jika memang pemerintah benar-benar adil dan serius. (Yasir Ibrahim – Lajnah Siyasah DPP HTI)

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.