Header Ads

Haruskah HTI Berterimakasih Kepada Demokrasi?


Tahukah anda bahwa HTI menikmati demokrasi, sadar atau tidak. Anda harus berterimakasih kepada demokrasi, karena berkat demokrasi ada bisa bebas menyuarakan pendapat anda, bebas menyelenggarakan berbagai acara, dan bebas menyebarkan berbagai tulisan anda. Jika anda tidak hidup di alam demokrasi, niscaya gerakan anda tidak akan dibiarkan hidup oleh penguasa. Anda telah menikmati demokrasi, dan anda seharusnya bersyukut.

Begitulah “nasehat” yang kita dengar dari mereka yang ingin agar kita menghentikan serangan terhadap konsep dan praktek demokrasi. Poin yang saya tangkap adalah stigma inkonsisten yang tertuju kepada mereka yang menolak demokrasi tapi masih hidup dan menikmati alam demokrasi. Kata Zuly Qodir, peneliti Ma’arif Institute, “HTI demikian keras mengkritik sistem demokrasi di Indonesia. Tapi, HTI bisa bergerak bebas berbicara dan berkampanye, karena Indonesia menganut sistem demokrasi,”
Pertanyaan saya kemudian adalah: apakah jika kita dibiarkan hidup dalam sistem demokrasi berarti kita tidak boleh menentang sistem itu? Jika demikian, maka pertanyaan bisa saya luaskan, apakah jika kita dibiarkan hidup dalam sebuah sistem monarkhi lantas kita tidak boleh menentang sistem itu? Apakah jika kita dibiarkan hidup dalam sistem feodal berarti kita tidak boleh untuk mengkritik feodalisme? Apakah jika kita telah dibiarkan hidup dalam sistem kapitalisme lantas kita tidak boleh menentang kapitalisme? Apakah jika kita hidup dalam negara kolonial berarti kita tidak boleh mengkritik kolonialisme? Dll.
Jika demikian, apa yang akan mereka katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah selama sepuluh tahun beliau bisa berdakwah di Makkah dengan relatif aman karena perlindungan Abu Thalib, sang paman? Bukankah perlindungan sang paman itu efektif karena tradisi masyarakat Arab jahiliyah yang menghormati para petinggi suku mereka –seperti Abu Thalib- dan menghormati status sosial Bani Hasyim dan Abdul Muthalib? Lantas jika demikian apakah seharusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sepuluh tahun itu berterimakasih kepada tradisi Arab jahiliyah?
Hal yang sama juga terjadi pada tokoh-tokoh pergerakan nasional di dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Mereka bisa menjadi tokoh pergerakan, bisa menjadi “pintar” karena kebijakan pemerintah kolonial untuk menyelenggarakan politik etis. Salah satu poin penting dalam politik etis adalah terkait dengan pendidikan, yang memungkinkan kalangan tertentu dari pihak pribumi untuk mengenyam pendidikan sampai taraf yang tinggi. Maka dari itu, semua buku sejarah yang mengulas embrio pergerakan nasional selalu mengaitkan lahirnya tokoh-tokoh mereka dengan adanya politik etis. Lantas, apakah tokoh-tokoh itu seharusnya berterimakasih kepada pemerintah kolonial? Apakah inkonsisten namanya jika mereka justru memanfaatkan intelektualitas mereka untuk menentang penjajahan dan eksistensi negara kolonial?
Sungguh, kemanfaatan seperti apapun dalam masa jahiliyah tidak boleh membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti berjuang untuk mengeluarkan manusia dari sana. Sebesar apapun “nikmat” yang diberikan oleh negara kolonial kepada kaum terjajah tidak boleh membuat manusia berhenti berjuang untuk mengeluarkan kaumnya dari penjajahan negar-negara kolonial, dan senikmat apapun hidup dalam alam demokrasi tak boleh membuat kita lupa akan hukum-hukum Allah yang tak mungkin diterapkan dalam sistem ini, tak boleh membuat kita berhenti untuk berjuang mengeluarkan manusia dari sistem ini menuju sistem Islam. Biarlah orang lain berkata tentang menikmati demokrasi tapi kita hanya akan bicara tentang menikmati dakwah. Titok Priastomo [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.