Header Ads

Agar Negara Tanggap Bencana

Agar Negara Tanggap Bencana

Oleh Hamzah Ichu Iswiansyah
Lajnah Siyasiyah HTI Gresik

Akhir-akhir ini Indonesia ditimpa berbagai bencana yang silih berganti. Erupsi gunung Sinabung di Sumatera. Banjir bandang di Manado, Jakarta, dan daerah lainnya. Yang terbaru erupsi Gunung Kelud (13/2/2014) yang abu vukkanik menyebar di pulau Jawa. Diluar pembahasan bahwa bencana adalah qodlo’ atau ketentuan dari Allah. Pencegahan dan penangan bencana harus diusahakan dengan baik, benar dan cepat. Sebab pencegahan dan penanganan bencana bukanlah hal yang sederhana karena menyangkut berbagai masalah yang cukup kompleks. Selain itu penangan bencana dituntut pelaksanaan yang serba cepat karena hal ini menyangkut keselamatan banyak orang. Ketidakadaan menejemen penangan bencana yang benar akan mengakibatkan banyak masalah cabang yang berakibat fatal seperti hilangnya nyawa, munculnya berbagai penyakit, dan masalah sosial lainnya.


Jawa Timur sebagai salah satu wilayah rawan bencana juga seharusnya waspada. Bencana tahunan bukan sekadar dijadikan berita. Alagkah baiknya dikaji kemudian diberi solusi. Biasanya bencana banjir dan longsor terjadi di awal musim hujan. Jika musim kemarau datang, kekeringan pun terjadi. Di tambah lagi anomali musim yang tidak menentu. Maka, pihak yang diberi wewenang dalam mengurusi rakyat harus siap sedia. Pemerintah melalui BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) hendaknya berkoordinasi dengan BNPB-Daerah. Selain itu, BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) juga memberikan info selengkapnya. Pemerintah Daerah juga menyiapkan semuanya, sebelum dan setelah bencana. Hal yang lebih penting adalah kesadaran manusia untuk selalu tanggap dalam menghadapi bencana.

Beberapa daerah Jatim juga dilanda bencana alam. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyuwangi, Jawa Timur, mencatat jumlah rumah rusak akibat puting beliung yang terjadi di Desa Yosomulyo pada Rabu (29/1) sore, sebanyak 88 rumah. Jumlah kerugian sekitar Rp 800 juta (republika.co.id). Sebanyak 12 korban musibah tanah longsor di Dusun Kopen, Desa Ngrimbi, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (28/1) sudah ditemukan, dan semuanya meninggal dunia (antaranews.com). Dampak banjir akibat hujan deras yang mengguyur sejumlah wilayah di Situbondo, Jawa Timur, Minggu (2/2) terus bertambah. Kini sedikitnya 3.000 rumah di 40 desa masih tergenang banjir setinggi 70 cm hingga 1 meter. Seorang warga dilaporkan meninggal dunia dalam musibah tersebut (kompas.com).

Penguasa merupakan pelayan bagi umatnya. Maka penguasa selayaknya bisa segera tanggap bencana. Tidak lagi gagap. Karena bencana alam ini seolah menjadi siklus tahunan. Selayaknya dapat diambil pelajaran dan diantisipasi lebih awal. Tidak ada salahnya, penguasa ini menyontoh dan mengambil pelajaran dari sistem Islam dalam tanggap bencana.

Sistem Islam Tanggap Bencana

Islam sebagai sebuah idiologi tentu memiliki pandangan yang khas dalam masalah bencana. Menejemen penanganan bencana secara menyeluruh adalah menjadi tanggungjawab Negara (Daulah). Sebab menejemen bencana ini termasuk sub dari salah satu tugas utama negara dalam pandangan Islam. Adapun tugas utama negara dalam Islam adalah : mencukupi kebutuhan 1. Sandangan, 2. Pangan, 3. Papan, 4. Pendidikan, 5. Kesehatan dan 6. Keamanan. Dalam Islam penangan masalah bencana masuk dalam kategori kebutuhan keamanan, yakni aman dari bencana.

Adapun menejemen penangan bencana dalam Islam dibagi dalam 3 (tiga) tahapan.:

Tahap Pertama, adalah tahap pra (sebelum) musibah itu terjadi, negara berkewajban membuat strategi untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Yakni dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai jalur misal melalui jalur pendidikan, jalur formal, periklanan dan lain-lain. Pemerintah juga wajib menyediakan fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana.seperti alarm peringatan bencana, tanggul-tanggul penahanan air, jalan-jalan evakuasi bencana, dan lain-lain.

Tahapan Kedua, adalah tahap manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana, seperti posko pemantauan bencana, jaringan kominkasi darurat ketika terjadi bencana, pengadaan logistic makanan dan obat-obatan, fasilitas-fasilitas darurat, sistem penggalangan bantuan bantuan bencana dan lain-lain.

Tahap Ketiga, adalah tahap manajemen pasca bencana, yakni seluruh kegiatan yang ditujukan untuk: (1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya, dan (2) me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana, kantor-kantor pemerintahan maupun tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, dan pasar.

Hal yang berbeda ketika saat ini negara seolah gagap tanggap bencana. Seringkali dalam mengantisipasi keadaan bencana saat ini pemerintah selalu terlambat dibandingkan dengan gerak cepat LSM-LSM yang ada. Kelambatan ini seringkali disebabkan oleh:
  • Birokrasi yang rumit
  • Keterbatasan dana yang ada
  • Mentalitas pegawai pemerintahan yang korup
Kelambatan penanganan bencana yang disebabkan 3 (tiga) faktor ini seringkali berakibat fatal, seperti meningkatnya jumlah korban meninggal dunia, meningkatnya jumlah korban sakit dan lain-lain. Hal ini akan bisa teratasi ketika diterapkan Islam di tengah-tengah masyarakat. Mari kita bandingkan bagaimana penanganan bencana versi Islam dengan versi sistem selain Islam.

Kendala Birokrasi disebabakan ketiadaan aturan yang jelas. Ketiadaan UU menjadi hambatan yang utama, di dalam Islam semua peraturan tersebut telah diatur dalam Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sehingga tidak diperlukan lagi mekanisme pembuatan UU yang cukup berbelit di sistem selain Islam.

Keterbatasan dana sering dikeluhkan penguasa. Selama ini pembiayaan untuk penanggulangan dan recovery pasca bencana di danai dari dana-dana hasil hutang luar negeri. Solusi ini adalah solusi jangka pendek yang akan memunculkan masalah baru kelak dikemudian hari. Berupa hegemoni ekonomi dan ketergantungan pada asing. Negara pun juga harus membayar bunga ribawinya. Justru ini akan menjadikan posisi negara lemah tak berdaya. Lalu bagaimana Islam menyelesaikan maslaah ini. Sumber pendanaan untuk penangan bencana dan recovery pasca bencana diambilkan dari banyak pos pendapatan negara seperti:

Pos fa’iy (harta rampasan perang) manakala negara khilafah melakukan futuhat atau penaklukan guna penyebaran Islam. Devisa negara yang berasal dari pos fa’iy sebagian dialokasikan untuk penanganan bencana alam.

Pos kharaj (pungutan atas tanah kharajiyyah), setiap negeri yang masuk Islam melalui jalan peperangan/futuhat seperti Irak atau Mesir, juga negeri-negeri lain, telah ditetapkan oleh hukum syara sebagai tanah kharaj. Tanah ini akan dipungut biayanya yang disebut uang kharaj, dimana besarannya diserahkan kepada pendapat/ijtihad khalifah. Devisa negara dari tanah kharaj ini terbilang besar, seperti yang diperoleh dari tanah Irak di masa Kekhilafahan Umar bin Khaththab. Dari pos kharaj ini sebagian akan dialokasikan untuk pos penanganan bencana.

Pos milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Di dalam negara khilafah berbagai kepemilikan umum seperti barang tambang migas, mineral, batu bara akan dikelola negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana alam.

Pos dlaribah (pungutan atas kaum muslimin). ini bukan pajak. Bila dalam sistem kapitalisme pajak dijadikan urat nadi pereekonomian, termasuk dalam penanganan bencana, Islam menolak jauh-jauh konsep ini. Haram bagi negara memungut pajak dari rakyat. Akan tetapi manakala kas negara dalam keadaan minim sedangkan kebutuhan ri’ayah (mengurus) rakyat harus tetap berjalan, maka ada pungutan yang dinamakan dlaribah. Perbedaannya dengan pajak adalah obyeknya. Dlaribah hanya diambil dari warga muslim yang mampu/kaya, tidak dipungut dari yang menengah apalagi yang tidak mampu. Warga non muslim bahkan sama sekali tidak diambil dlaribah-nya. Dalilnya adalah keputusan Rasulullah saw. yang beberapa kali meminta kaum muslimin untuk mengalokasikan hartanya untuk keperluan umum. Seperti Beliau saw. memotivasi kaum muslimin untuk membeli sumur Raumah dari pemiliknya, seorang Yahudi. Hal itu perlu dilakukan karena saat itu Madinah kekurangan air bersih. Akhirnya Utsman bin Affan ra. mewaqafkan tanahnya untuk membeli sumur itu. Rasulullah saw. pun memuji sikap Utsman bin Affan ra.

Sebuah Perbandingan

Dalam masyarakat Islam kontrol terlaksananya sebuah aturan memiliki 3 tingkatan. Pertama, kontrol yang dilakukan oleh Negara (Daulah). Kedua, kontrol yang dilakukan oleh msyarakat. Ketiga, kontrol yang dilakukan oleh diri sendiri. Pada masyarakat kapitalis sekuler kontrol pelaksanaan aturan (hukum) hanya sampai pada tingkatan negara dan masyarakat saja. Bahkan yang ada seringkali kontrol yang dilakukan oleh negara. Artinya bila ada petugas aturan bisa berlaku tetapi bila tidak ada petugas peraturan hanya tinggal peraturan.

Pengawasan pelaksanaan penyaluran bantuan bagi korba bencana seringkali gagal dilaksanakan dengan sempurna karena adanya mental korusi dari petugas yang berwenang yang mengambil kesempatan dalam keadaan yang penuh dengan kesulitan. Hal ini tidak akan terjadi bila mentalitas petugas dibangun di atas landasan keimanan dan ketaqwaan. Dan adanya individu petugas yang jujur hanya bisa terlaksana dalam sistem Islam saja.

Demikian studi perbandingan penangan bencana dalam Islam dibandingkan dengan penanganan bencana dengan sistem selain Islam. Penanganan bencana dalam Islam memiliki ciri khas yakni cepat, menyeluruh dan amanah sedangkan dalam sistem lain biasanya lambat, tidak tepat sasaran dan cenderung korup. Dengan pemaparan ini hendaknya masyarakat mampu membuka pemikiran sistem mana yang paling bagus dalam menangani bencana. Wallahu A’lam. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.