Header Ads

Liberalisme Migas Kaaffah Di Era Jokowi-JK

Liberalisme Migas Kaffah Di Era Jokowi-JK
Menyakitkan! Barangkali itu yang dirasakan sebagian besar peserta Halaqah Islam dan Peradaban, Sabtu 11 April 2015. Acara yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) daerah Sleman Yogyakarta ini memang mengambil tema yang membuat miris siapapun yang mengaku peduli dan cinta pada negara ini, yaitu “Indonesia dalam Ancaman Neoliberalisme dan Neoimperialisme”. Tema ini dikupas langsung oleh juru bicara HTI Ustadz HM. Ismail Yusanto dengan meyakinkan. Ancaman Neoliberalisme dan Neoimperialisme ini nyata, bukan isapan jempol, bukan pula asumsi, dugaan, apalagi paranoia sebagaimana selama ini yang sering digembar-gemborkan sebagai ancaman adalah radikalisme Islam. Inilah upaya musuh Islam memalingkan umat dari ancaman yang sebenarnya dan mengada-adakan isu dan menakut-nakuti rakyat dengan ancaman yang sebenarnya hanya mengancam diri dan kepentingan mereka sendiri, bukan rakyat atau umat seluruhnya.



Neoliberalisme dan neoimperialisme bukan ‘akan’ dan bukan pula ‘mungkin’ atau ‘dikhawatirkan’ mengancam negeri ini. Itulah yang ditegaskan, karena kenyataannya sudah sejak lama bercokol dan merecoki setiap rezim yang berkuasa silih berganti di negeri ini. Parahnya, ancaman yang sudah dan sedang terus berjalan ini, bahkan jalannya makin mulus di rezim baru yang sangat digadang-gadang sebagai pro rakyat. Dalam hal pengelolaan migas, ustadz Ismail bahkan menyatakan liberalisme telah ‘kaaffah’ di era Jokowi-Jk ini. Betapa tidak, subsidi yang sedianya diharapkan dicabut bertahap hingga nol dalam kurun lima tahun masa pemerintahan rezim baru ini, ternyata dipenuhi dalam hitungan bulan saja. Ketiadaan subsidi BBM yang telah ‘kaaffah’ ini berkonsekuensi penguasaan asing di sumber daya migas kita bukan hanya dari hulu saja, akan tetapi sampai hilir.

Ustadz Ismail menggambarkan analogi sederhana, bagaimana kita bisa dengan mudah memahami betapa ngawurnya ide neoliberalisme ini. “Ibarat kita sebagai orang tua yang memiliki anak kandung. Saat kita mempunyai kue dan anak kita kelaparan, ternyata kita tidak langsung memberinya begitu saja, tapi menyuruh dia memperebutkan kue itu dengan anak-anak tetangga yang kuat dan jumlahnya banyak.” Jelas beliau. Tentu hal ini susah diterima oleh akal sehat.

“Kita menyuruh seorang anak kita yang lemah berebut dan bersaing secara bebas dengan banyak anak tetangga yang kuat dan beringas. Coba bayangkan, orang tua macam apa itu?” Pungkas ustadz Ismail prihatin.

Pada sesi diskusi dan tanya jawab, respon peserta menunjukkan keresahan yang sama. Ustadz Ismail memungkasi acara dengan menjelaskan langkah HTI ke depan dan menegaskan Islam dan Khilafah sebagai satu-satunya solusi. [haryo p] [www.al-khilafah.org]

Sumber : angkringandakwah.com






Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.