Header Ads

Kita Dikadalin Freeport

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Iress
Seperti yang sudah pernah terjadi, sebelum kontrak karya pertambangannya habis, PT Freeport telah mengajukan perpanjangan kontrak. Tidak tanggung-tanggung, Freeport langsung meminta perpanjangan kontrak selama 20 tahun lagi. 

Suatu yang tidak mungkin Freeport meminta perpanjangan kontrak jika di Grasberg tidak ada potensi emas yang masih sangat besar. Akankah pemerintah takluk lagi seperti sebelumnya. Ikuti wawancara wartawan tabloid ini Joko Prasetyo dengan Direktur Iress Marwan Batubara. Berikut petikannya.  

Bagaimana Freeport bisa terus-menerus memperpanjang kontraknya?

Kontrak awalnya tahun 1967, sesudah tambangnya di Ertsberg hampir habis, mereka menemukan cadangan baru di Grasberg. Lalu dibuatlah perjanjian baru atau Kontrak Karya Generasi II (KK II) di tahun 1990-an untuk waktu 30 tahun yakni dari 1991-2021.

Dalam KK II tersebut, disebutkan bisa diperpanjang 2 X 10 tahun alias sampai 2041. Jadi untuk bisa memperpanjang sampai 2031 kah atau 2041, Freeport perlu konfirmasi perpanjangan ke pemerintah setiap 10 tahun. Itulah sebabnya sekarang ini Freeport mengajukan perpanjangan kontrak.

Setelah 2041 bisa diperpanjang lagi?

Bisa saja sebelum 2041, dibuat kesepakatan atau ketentuan baru sehingga Freeport memperpanjang lagi kontraknya. Yang jelas, apa yang terjadi sekarang, itu kesepakatannya dibuat pada tahun 1990-an itu.

Siapa yang membuat kesepakatan tersebut?

Presiden Soeharto dan koordinator di lapangannya adalah Ginanjar Kartasasmita. Itulah yang kita sayangkan sampai bisa terjadi. Tapi biasanya, kontrak-kontrak tambang besar terutama Amerika dan Eropa itu, sejauh yang kita amati di era Orde Baru itu terjadi lantaran para penguasa negeri ini lebih karena ingin mendapatkan dukungan politik dari Amerika.

Bahkan di era Reformasi pun seperti Presiden SBY itu kan dalam rangka mendapatkan dukungan Amerika, rela melepaskan Blok Cepu untuk Exxon Mobile.

Yang kita khawatirkan hal itu terus terjadi, sehingga para calon presiden di masa yang akan datang pun, dalam rangka mencari dukungan Amerika agar proses politiknya dimenangkan maka akan mengulangi kesalahan SBY dan presiden sebelumnya.

Tapi kan rakyat yang memilih presidennya?

Iya, tetapi mereka juga membutuhkan dukungan politik Amerika sebelum dan sesudah terpilih. Sebelum terpilih kan butuh dukungan logistik. Faktanya kan sudah ada.

Contohnya?

Pak Harto! Waktu pertama kali naik jadi presiden dia itu bukan dipilih rakyat. Ia didukung Amerika untuk menggantikan Bung Karno tetapi  pendukung ini kan tidak akan memberikan dukungan tanpa konpensasi, makanya banyak konsesi yang diberikan.  

Itu yang menyebabkan proses penuntutan kepada Soeharto tidak tuntas?

Iya, yang saya khawatirkan, orang-orang atau negara asing itu juga tidak mau kalau itu dituntaskan. Karena banyak sekali, sebelum beliau itu lengser, memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan asing. Kalau dia digugat, berarti kebijakan yang lalu juga bisa digugat,  ya si asing ini juga tidak mau. Salah satu yang kita lihat adalah tentang Freeport ini.

Pak Harto itu pernah menerbitkan Keputusan Kepala BKPM yang tidak memerlukan divestasi bagi saham Freeport atas dasar PP yang diterbitkan pada 1994 bahwa asing boleh memiliki saham sampai 100 persen. Padahal menurut kontrak karya (KK) yang ditandatangani sebelumnya, itu kewajiban divestasi itu keharusan.
Nah, ini adalah kebijakan yang sebetulnya salah. Kalau dia digugat dan kebijakannya yang salah ini juga digugat, si asingnya kan jadi terkena. Jadi meski belakangan, menjelang lengser, Amerika tidak suka lagi kepada Pak Harto, tetapi Amerika tidak mau membiarkan Pak Harto diproses secara hukum, karena akan berdampak pada perusahaan-perusahaan Amerika yang mendapat konsesi darinya.

Apa presiden berikutnya tidak tahu bahwa kebijakan Soeharto itu keliru sehingga harus dibatalkan?

Yang saya khawatirkan, bukan tidak tahu itu keliru, tetapi justru juga ada kepentingan untuk melanggengkan kepentingan asing itu.

Buktinya?

Mengapa hingga saat ini, tidak ada satu pun presiden setelah Pak Harto lengser, membuat PP baru yang mengoreksi PP terbitan Soeharto itu, sehingga divestasi bisa dilanjutkan.

Kembali ke Freeport, Anda sering mengatakan bahwa kita sering dikadalin perusahaan tambang emas milik Amerika itu. Maksudnya?

Pada tahun 1970-an hingga 1990-an Freeport menambang di Papau tapi dia hanya menyatakan bahwa tambang itu merupakan tambang tembaga. Otomatis royalti dan pajak yang Freeport berikan pada negara hanyalah dari tembaga dan itu berlangsung sampai Gunung Ertsberg yang menjulang tinggi itu ludes menjadi lembah yang sangat dalam.

Apakah di situ ada emas dan perak, tidak pernah dibayarkan pajak dan royaltinya, karena pemerintah tidak pernah diberi kesempatan untuk memeriksanya.

Ternyata begitu pindah ke Gunung Grasberg yang sekarang sedang dieksploitasi sejak tahun 1990-an, ada yang membocorkan informasi bahwa di sana ada emas dan perak. Malah sekarang sebanding antara total produksi emas dan tembaganya.

Kedua, waktu mereka memulai tambang di Grasberg, butuh modal lebih besar, maka Freeport melakukan IPO (menjual sebagian sahamnya) di Amerika dengan menjual kira-kira 23,4 persen saham, mereka dapat uang dari publik sekitar 33 milyar USD. Pemerintah Indonesia dapat saham 9,3 persen.

Artinya, Freeport bisa melakukan IPO lantaran ada jaminan besarnya potensi emas dan tembaga di Grasberg itu. Yang kita sayangkan, mengapa pemerintah tidak melakukan hal yang sama untuk mendapatkan pinjaman atau atau komposisi saham itu dibuat sedemikian rupa, meskipun tidak punya uang, sebandinglah kita sebagai pemilik dengan pihak kontraktor yang akan mengoperasikan, sehingga sahamnya sebanding.

Tidak seperti sekarang, saham pemerintah hanya 9,3 persen, untuk menempatkan satu orang direktur pun tidak bisa karena kecilnya saham kita. Padahal Freeport bisa mendapatkan dana segar dengan menjual IPO dari jaminan emas yang kita miliki. Jadi kita sebagai pemilik emas, kita dikadalin!

Nah, dalam kasus Freeport ini, mestinya itu dilakukan pemerintah. Barang, barang kita, kenapa dulu sahamnya minta cuma 9,3 persen. Kedua, kalau tidak punya uang kan bisa pinjam dengan jaminan emas yang akan dieksploitasi. Itu tidak dilakukan dan bahkan dibiarkan nilainya itu tidak ditambah.

Yang kedua, dalam kontrak karya itu awalnya ada perjanjian divestasi di tengah jalan malah diubah dengan kalimat tidak perlu divestasi. Sehingga saham kita maksimum tetap saja 9,36 persen. Jadi kita benar-benar dikadalin!

Dan harusnya ini dikoreksi oleh presiden yang sekarang. Namun itu tidak dilakukan. Malah yang saya dengar mau diperpanjang.

Lho kok malah diperpanjang?

Karena itu, kita curiga ada ketakutan pada Amerika atau mungkin juga ada kesepakatan-kesepakatan tertentu antara SBY dan Amerika.

Jadi telah terjadi perselingkuhan antara penguasa dan Freeport?

Perselingkuhan sih tidak tetapi ketidakberdayaan, ketidakberanian atau kedua-duanya! Kalau kita mau merujuk pada Venezuela terhadap begitu banyak perusahaan tambang asing, salah satunya itu menasionalisasikan tambang minyak Exxon Mobile.

Lalu Exxon menggugat ke Arbitrase, kemudian Presiden Venezuala Hugo Chaves menghadapi itu. Setelah empat tahun bersidang, ternyata Chaves menang! Jadi kalau pun seandainya kita digugat ke Arbitrase karena merebut kembali hak kita oleh Freeport kan kita bisa hadapi seperti Venezuela. Jangan belum melangkah tetapi sudah takut. (mediaumat.com, 13/9/2012)[HTIPress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.