Noda Hitam Perda 2/2012
Oleh : Muhammad Hanif
Aktivis Kajian Islam Politik Tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng
1 Desember lalu diperingati sebagai hari HIV/AIDS sedunia. Momentum tersebut mengingatkan kembali masyarakat untuk semakin waspada terhadap penyebaran penyakit mematikan ini. Di Kabupaten Kobar saja, hingga November 2012 tercatat penambahan penderita HIV/AIDS sebanyak 5 orang yang beprofesi sebagai pekerja seks komersil (PSK) di lokalisasi Desa Amin Jaya. Sehingga, total keseluruhan menjadi 29 orang (Borneonews/28/11/2012). Itu baru di Kobar dan belum termasuk Kalteng secara umum. Tetapi, semuanya menunjukkan tren yang sama, yakni semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penderita HIV/AIDS seperti fenomena gunung es dan banyak pihak meyakini jumlah sesungguhnya lebih besar dari yang berhasil terdeteksi. Guna memperkuat penanggulangan HIV/AIDS di daerah, Pemkab Kobar telah menggolkan Perda Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan IMS.
Sayangnya, ketentuan yang tertuang dalam pasal pasal atau ayat perda Nomor 2/2012 ini penuh kontroversi. Alih alih mempersempit ruang gerak penyebaran HIV/AIDS, perda ini justru melapangkan jalan bagi penularan virus HIV dengan melegalkan seks bebas. Tengok saja, dalam Bab III Pasal 4 b berbunyi upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui : b.meningkatkan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks beresiko. Tanpa bermaksud mengabaikan ketentuan lainnya, pasal ini sangat berbahaya karena memberi pembenaran bagi tumbuh suburnya praktik seks bebas yang sebelumnya sudah eksis khususnya pada area lokalisasi. Bukannya melarang, pasal ini justru memfasilitasi para penjaja seks dan lelaki hidung belang agar bisa tetap berzina secara aman yakni dengan menggunakan kondom. Lewat ketentuan tersebut, seolah olah pasal porno ini ingin mengatakan kepada publik bahwa jangan takut terkena penyakit HIV/AIDS karena sudah menggunakan kondom ketika berhubungan seks.
Anjuran penggunaan kondom kemudian diperkuat dengan Bab V perihal Kewajiban dan Larangan pasal 8 ayat 7 yang berbunyi setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan atau pasangannya mengidap HIV dan AIDS wajib melindungi pasangannya dengan menggunakan kondom. Nauzubillah. Pasal ini secara vulgar melegalkan seks bebas khususnya bagi para pengidap HIV / AIDS. Bagi komunitas beresiko tinggi seperti para pelacur atau pasangan sejenis, pasal ini menjadi angin segar agar bisa tetap bisa “beroperasi” secara aman dan nyaman –sekali lagi- dengan menggunakan kondom. Hebatnya lagi, perda ini melarang setiap orang atau instansi memublikasikan status HIV/AIDS seseorang kecuali seizin si penderita. Perlindungan ini tertuang dalam pasal 9 ayat 3 yang berbunyi setiap orang atau badan di larang mempublikasikan status HIV dan AIDS seseorang kecuali dengan persetujuan yang bersangkutan.
Menjadi jelas, bahwa semangat pemberantasan HIV AIDS dalam perda ini adalah bentuk lain dari kondomisasi. Tujuannya, untuk memfasilitasi dan melestarikan praktik seks bebas secara aman di masyarakat. Meski bertujuan untuk mencegah, subtansi perda ini nihil dari upaya memberantas akar masalah HIV AIDS yakni pelarangan seks bebas dan narkoba. Alhasil, promosi perilaku sehat dan bersih yang dituangkan dalam perda ini menjadi sekedar basa basi karena sudah kehilangan taji.
Dari perspektif kompherensif, lahirnya perda ini merupakan bagian program nasional Kementerian Kesehatan dalam rangka pencapaian MDGs. Menkes Nafsiah Mboi menyebut peningkatan penderita HIV AIDS karena kurangnya penggunaan kondom di kelompok yang beresiko seperti PSK (pelacur). Persepsi ini jelas keliru karena kampanye penggunaan kondom hanya justru akan melestarikan praktik seks bebas (zina) dan membuka ruang yang lebih luas bagi penyebaran HIV / AIDS. Kebijakan inii juga mengabaikan temuan ilmiah yang menyebutkan penggunaan kondom tidak 100 % aman karena ukuran sel virus HIV lebih kecil dari ukuran membran kondom itu sendiri.
Secara ideologis, penyebab utama munculnya HIV AIDS adalah hasil penerapan sistem sosial yang liberal (bertumpu pada nilai nilai kebebasan) dan lepas dari ajaran Islam. Sehingga, yang kemudian muncul adalah corak kehidupan masyarakat yang serba boleh dan menghamba pada kesenangan materi/duniawi. Ciri yang tampak adalah tumbuh suburnya perilaku amoral seperti seks bebas (gonta ganti pasangan), homoseksual dan perselingkuhan.
Hal ini diperparah dengan menjamurnya konten pornografi pornoaksi dalam berbagai bentuk baik secara vulgar maupun dengan bungkus karya seni/budaya, peredaran minuman keras, dan beroperasinya tempat tempat maksiat seperti diskotik, kafe remang remang dan sejenisnya.
Padahal, dari lingkungan yang rusak tersebut tumbuh subur praktik seks bebas dan narkoba yang berujung pada penularan penyakit HIV AIDS. Di sisi lain, ajaran Islam menjadi tumpul dalam memperbaiki kerusakan yang terjadi karena hanya berlaku pada ranah ibadah ritual plus nikah, talak, cerai dan waris. Akhirnya, umat menjadi abai, kontrol sosial semakin lemah dan terserang penyakit individualistik. Sehingga fenomena munculnya lokalisasi dan cafe remang remang seiring perkembangan kota tidak lagi dipandang sebagai aib dan dianggap hal biasa. Termasuk juga di Pangkalan Bun yang katanya Kota Religius. Sejatinya, Islam sebagai agama politik dan spiritual telah memberikan konsep sekaligus solusi atas seluruh problematika hidup termasuk dalam memberantas HIV/AIDS. Langkah awal adalah dengan melarang praktik seks bebas dan narkoba yang selama ini menjadi sumber penyebaran HIV/AIDS. Selain itu, Syariah Islam akan mendorong tumbuhnya ketakwaan masyarakat dan lingkungan sosial yang sehat dengan melarang tempat tempat maksiat , minuman keras, serta menutup akses/konten pornografi dan pornoaksi. Bagi yang melanggar, akan mendapatkan sanksi secara tegas, adil dan memberi efek jera kepada publik. Namun, semua itu hanya dapat terwujud dengan menegakkan Syariah Islam dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah. Bukan yang lain. (borneonews, 10/12)[www.al-khilafah.org]
Aktivis Kajian Islam Politik Tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng
1 Desember lalu diperingati sebagai hari HIV/AIDS sedunia. Momentum tersebut mengingatkan kembali masyarakat untuk semakin waspada terhadap penyebaran penyakit mematikan ini. Di Kabupaten Kobar saja, hingga November 2012 tercatat penambahan penderita HIV/AIDS sebanyak 5 orang yang beprofesi sebagai pekerja seks komersil (PSK) di lokalisasi Desa Amin Jaya. Sehingga, total keseluruhan menjadi 29 orang (Borneonews/28/11/2012). Itu baru di Kobar dan belum termasuk Kalteng secara umum. Tetapi, semuanya menunjukkan tren yang sama, yakni semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penderita HIV/AIDS seperti fenomena gunung es dan banyak pihak meyakini jumlah sesungguhnya lebih besar dari yang berhasil terdeteksi. Guna memperkuat penanggulangan HIV/AIDS di daerah, Pemkab Kobar telah menggolkan Perda Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan IMS.
Sayangnya, ketentuan yang tertuang dalam pasal pasal atau ayat perda Nomor 2/2012 ini penuh kontroversi. Alih alih mempersempit ruang gerak penyebaran HIV/AIDS, perda ini justru melapangkan jalan bagi penularan virus HIV dengan melegalkan seks bebas. Tengok saja, dalam Bab III Pasal 4 b berbunyi upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui : b.meningkatkan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks beresiko. Tanpa bermaksud mengabaikan ketentuan lainnya, pasal ini sangat berbahaya karena memberi pembenaran bagi tumbuh suburnya praktik seks bebas yang sebelumnya sudah eksis khususnya pada area lokalisasi. Bukannya melarang, pasal ini justru memfasilitasi para penjaja seks dan lelaki hidung belang agar bisa tetap berzina secara aman yakni dengan menggunakan kondom. Lewat ketentuan tersebut, seolah olah pasal porno ini ingin mengatakan kepada publik bahwa jangan takut terkena penyakit HIV/AIDS karena sudah menggunakan kondom ketika berhubungan seks.
Anjuran penggunaan kondom kemudian diperkuat dengan Bab V perihal Kewajiban dan Larangan pasal 8 ayat 7 yang berbunyi setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan atau pasangannya mengidap HIV dan AIDS wajib melindungi pasangannya dengan menggunakan kondom. Nauzubillah. Pasal ini secara vulgar melegalkan seks bebas khususnya bagi para pengidap HIV / AIDS. Bagi komunitas beresiko tinggi seperti para pelacur atau pasangan sejenis, pasal ini menjadi angin segar agar bisa tetap bisa “beroperasi” secara aman dan nyaman –sekali lagi- dengan menggunakan kondom. Hebatnya lagi, perda ini melarang setiap orang atau instansi memublikasikan status HIV/AIDS seseorang kecuali seizin si penderita. Perlindungan ini tertuang dalam pasal 9 ayat 3 yang berbunyi setiap orang atau badan di larang mempublikasikan status HIV dan AIDS seseorang kecuali dengan persetujuan yang bersangkutan.
Menjadi jelas, bahwa semangat pemberantasan HIV AIDS dalam perda ini adalah bentuk lain dari kondomisasi. Tujuannya, untuk memfasilitasi dan melestarikan praktik seks bebas secara aman di masyarakat. Meski bertujuan untuk mencegah, subtansi perda ini nihil dari upaya memberantas akar masalah HIV AIDS yakni pelarangan seks bebas dan narkoba. Alhasil, promosi perilaku sehat dan bersih yang dituangkan dalam perda ini menjadi sekedar basa basi karena sudah kehilangan taji.
Dari perspektif kompherensif, lahirnya perda ini merupakan bagian program nasional Kementerian Kesehatan dalam rangka pencapaian MDGs. Menkes Nafsiah Mboi menyebut peningkatan penderita HIV AIDS karena kurangnya penggunaan kondom di kelompok yang beresiko seperti PSK (pelacur). Persepsi ini jelas keliru karena kampanye penggunaan kondom hanya justru akan melestarikan praktik seks bebas (zina) dan membuka ruang yang lebih luas bagi penyebaran HIV / AIDS. Kebijakan inii juga mengabaikan temuan ilmiah yang menyebutkan penggunaan kondom tidak 100 % aman karena ukuran sel virus HIV lebih kecil dari ukuran membran kondom itu sendiri.
Secara ideologis, penyebab utama munculnya HIV AIDS adalah hasil penerapan sistem sosial yang liberal (bertumpu pada nilai nilai kebebasan) dan lepas dari ajaran Islam. Sehingga, yang kemudian muncul adalah corak kehidupan masyarakat yang serba boleh dan menghamba pada kesenangan materi/duniawi. Ciri yang tampak adalah tumbuh suburnya perilaku amoral seperti seks bebas (gonta ganti pasangan), homoseksual dan perselingkuhan.
Hal ini diperparah dengan menjamurnya konten pornografi pornoaksi dalam berbagai bentuk baik secara vulgar maupun dengan bungkus karya seni/budaya, peredaran minuman keras, dan beroperasinya tempat tempat maksiat seperti diskotik, kafe remang remang dan sejenisnya.
Padahal, dari lingkungan yang rusak tersebut tumbuh subur praktik seks bebas dan narkoba yang berujung pada penularan penyakit HIV AIDS. Di sisi lain, ajaran Islam menjadi tumpul dalam memperbaiki kerusakan yang terjadi karena hanya berlaku pada ranah ibadah ritual plus nikah, talak, cerai dan waris. Akhirnya, umat menjadi abai, kontrol sosial semakin lemah dan terserang penyakit individualistik. Sehingga fenomena munculnya lokalisasi dan cafe remang remang seiring perkembangan kota tidak lagi dipandang sebagai aib dan dianggap hal biasa. Termasuk juga di Pangkalan Bun yang katanya Kota Religius. Sejatinya, Islam sebagai agama politik dan spiritual telah memberikan konsep sekaligus solusi atas seluruh problematika hidup termasuk dalam memberantas HIV/AIDS. Langkah awal adalah dengan melarang praktik seks bebas dan narkoba yang selama ini menjadi sumber penyebaran HIV/AIDS. Selain itu, Syariah Islam akan mendorong tumbuhnya ketakwaan masyarakat dan lingkungan sosial yang sehat dengan melarang tempat tempat maksiat , minuman keras, serta menutup akses/konten pornografi dan pornoaksi. Bagi yang melanggar, akan mendapatkan sanksi secara tegas, adil dan memberi efek jera kepada publik. Namun, semua itu hanya dapat terwujud dengan menegakkan Syariah Islam dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah. Bukan yang lain. (borneonews, 10/12)[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar