Header Ads

Pemerintahan Itu Sesuatu yang Alamiah Bagi Masyarakat Sehingga Islam Tidak Perlu Mengaturnya, Benarkah?

Pemerintahan Itu Sesuatu yang Alamiah Bagi Masyarakat Sehingga Islam Tidak Perlu Mengaturnya, Benarkah?
Banyak orang yang mengatakan bahwa pemerintahan itu suatu yang fitrah dan alamiah, yaitu untuk mengatur interaksi masyarakat dalam kehidupan sosial. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Karena itu, dalam kehidupannya, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan yang lain dalam memenuhi hampir semua kebutuhan dan nalurinya. Dalam kehidupan sosial, karena berhubungan dengan orang banyak, maka secara alamiah harus ada pihak-pihak yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurusi masyarakat. Pihak inilah nanti yang akan memutuskan sengketa di masyarakat, membuat aturan-aturan kolektif yang berlaku di masyarakat, mengatur dan membuat fasilitas umum di tengah-tengah masyarakat, dan lain sebagainya. Inilah yang memunculkan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, urusan pemerintahan murni urusan dunia dan bersifat fitrah bagi manusia, yang mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan sosial.



Karena itu, menurut kebanyakan orang, pemerintahan ini tidak ada hubungannya dengan agama tertentu, termasuk Islam. Agama itu hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhannya. Dengan demikian, Islam sebagai agama juga hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, yaitu dalam urusan akidah dan ibada-ibadah seperti thoharoh, sholat, puasa, dzikir, dan lain sebagainya. Interaksi dan hubungan dengan tuhan ini merupakan hubungan yang suci dan sakral, sementara hubungan manusia dalam pemerintahan dan politik merupakan sesuatu yang profan, kotor, penuh dengan intrik dan tipu daya. Lalu menurut mereka, sesuatu yang suci tidak boleh dicampur dengan yang kotor. Konsekuensi dari pemahaman itu bahwa Islam tidak boleh dicampur dengan politik dan pemerintahan. Mencampur-adukkan Islam dengan pemerintahan dan politik, merupakan upaya mengotori ajaran Islam yang suci.

Benarkah demikian? Benarkah bahwa pemerintahan itu sesuatu yang fitrah dan kebutuhan alami manusia, sehingga Islam tidak boleh campur tangan di dalamnya? Ataukah Islam itu memang harus mencampuri, bahkan tidak sekedar mencampuri, tetapi pengaturan pemerintahan dan politik merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Islam?

*****

Pernyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain, itu memang benar adanya. Pernyataan bahwa urusan politik dan pemerintahan merupakan perkara yang sangat dibutuhkan manusia, itu juga memang benar adanya. Namun, pernyataan bahwa Islam tidak mengatur masalah tersebut karena dianggap murni merupakan urusan manusia dengan manusia, jelas tidak bisa diterima secara ilmiah. Kesimpulan yang terakhir ini, merupakan upaya ekxtrapolasi yang tidak didukung dengan data dan argumentasi yang kuat.

Kita akan membahasnya secara ringkas.

Manusia memang makluk sosial. Manusia bergabung dengan yang lain membentuk suatu masyarakat. Karena itu, manusia menjadi bagian integral dari masyarakat. Ia lahir di masyarakat dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Karena itu secara alamaih, manusia hidup bersama dengan sesama dalam seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dari interaksi ini, maka lahirlah hak dan kewajiban. Dengan demikian, tidak mungkin manusia hidup di masyarakat dengan kebebasan mutlak (hurriyah muthlaqoh). Ia tidak boleh berprilaku dan bertindak seenaknya, sebab hal itu akan menganggu kemaslahatan dan kepentingan orang lain. Karena itu, merupakan suatu keharusan adanya aturan di tengah-tengah masyarakat, juga keharusan adanya orang atau pihak-pihak yang memiliki wewenang untuk mengatur masyarakat dengan peraturan yang ada. Inilah pemerintahan. Dengan adanya aturan dan pemerintahan ini, maka seseorang tidak akan mendzalimi yang lain dengan seenaknya sendiri tanpa ada yang menghalanginya. Dengan aturan ini, interaksi di tengah-tengah masyarakat akan berjalan dengan harmonis, sehingga kebaikan dan kemaslahatan dapat dirasakan semua anggota masyarakat.

Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menjelaskan di dalam kitab Muqoddimah-nya bahwa adanya peraturan dan pemerintahan merupakan perkara yang fundamental secara alamiah, sebab manusia itu memiliki sifat jelek, yang memungkinkan manusia berbuat dzalim dan permusuhan. Dengan peraturan dan pemerintahan yang ada, sifat-sifat jelek dapat diminimalisasi atau dicegah. Jika manusia mendzalimi orang lain atau melanggar peraturan, maka manusia akan dihentikan dan diberi sanksi oleh aturan dan pemerintahan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Jadi adanya peraturan dan pemerintahan memang sesuatu yang alami. Ini sesuatu yang pasti, yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

Lalu, apakah bisa dipahamai bahwa karena peraturan dan pemerintahan adalah hal yang alamiah, maka Islam tidak mengaturnya dan membiarkan manusia membuat aturan dan menentukan jenis pemerintahan sesuai kehendaknya? Tentu saja, tidak bisa dipahami demikian. Kesimpulan ini merupakan kesimpulan yang sangat prematur dan terlalu dipaksakan. Sebab Islam datang justru untuk mengatur manusia dalam segala interaksinya, baik manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan dirinya, dan manusia dengan tuhannya.

Sekedar contoh, diantara jenis interaksi manusia adalah interaksi lelaki dan perempuan. Secara alamiah, lelaki tertarik pada perempuan, dan sebaliknya, perempuan tertarik dengan lelaki. Sebelum Islam datang, begitulah sifat lelaki dan perempuan. Pada masa sesudah Islam datang, sifat lelaki dan perempuan tetap seperti itu, tidak berubah sama sekali. Jadi, interaksi lelaki dan perempuan adalah sesuatu yang alamiah dan dloruriyah. Dengan demikian, apakah Islam tidak mengaturnya dengan alasan bahwa interaksi lelaki dan perempuan adalah sesuatu yang alamiah?

Islam datang justru salah satunya adalah untuk mengatur interaksi lelaki dan perempuan ini, sehingga interaksi ini membawa kebahagiaan, yang oleh al qur’an disebut sakinah mawaddah wa rohmah (penuh ketenangan, penuh kasih sayang dan rasa cinta). Islam mengaturnya dengan pengaturan yang rinci. Salah satunya, Islam mensyariah-kan pernikahan. Bahkan, sebelum pernikahan, pada saat menikah, dan setelah pernikahan, Islam pun telah mengaturnya dengan detil. Aturan Islam itu, tertuang dalam lima spektrum, yaitu adakalanya wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Misalnya, melihat wanita yang bukan mahromnya itu haram. Memberikan nafkah bagi lelaki kepada istrinya itu wajib, dan lain sebagainya. Begitu lengkapnya sampai-sampai para ulama telah menjelaskan hukum-hukum Islam terkait interaksi lelaki perempuan dalam berbagai kitab-kitab mereka. Imam Syafi’i misalnya, dari 11 jilid kitab master piece-nya yaitu al-umm, jilid ke-6 semuanya berbicara panjang lebar tentang hukum-hukum interaksi lelaki dan perempuan.

Apakah dibolehkan seorang lelaki dan wanita yang sudah saling mencintai hidup serumah dan tidur sekamar, dengan alasan mereka sudah saling mencintai, bahkan cintanya melebihi cintanya Romeo dan Juliet? Bukankah cintai ini sesuatu yang sangat fitri, suci, dan tentu saja sangat alamiah? Islam justru menganggap bahwa interaksi ini merupakah tindakan kriminal, yang pelakunya akan mendapat sanksi yang sangat berat. “Lho kok?”. Tidak usah “Lho kok?”, begitulah Islam dengan syariahnya yang komprehensif.

Apakah dibolehkan lelaki dan perempuan membuat peraturan atau kesepakatan sendiri? Jawabnya ada yang boleh dan ada yang tidak. Pada wilayah yang telah diwajibkan Allah dan yang telah diharamkan Allah, maka mereka tidak boleh membuat kesepakatan dan aturan lain. Haram tetap haram, dan wajib tetap wajib apa pun kesepakatan mereka. Tetapi pada wilayah sunnah, mubah, dan makruh, mereka diijinkan membuat peraturan dan kesepakatan sendiri. Misalnya, seorang suami istri bersepakat membuat aturan, dalam sebulan sekali jalan-jalan keluar kota atau makan di restoran, dan lain sebagainya.

*****

Jadi suatu interaksi yang bersifat fitrah dan alamiah, sama sekali tidak dapat dipahami bahwa itu murni urusan manusia, lalu disimpulkan bahwa Islam tidak boleh mengaturnya. Ini merupakan kesimpulan para pemikir kelas amatir.

Islam datang justru untuk mengatur manusia dalam segala aspek kehidupannya. Dengan begitu, maka manusia hidupnya akan dipenuhi dengan rohmah dan kabahagiaan.

Sekarang kita akan bahas lebih menukik lagi, apakah Islam mengatur permasalahan politik dan pemerintahan? Ataukah Islam membiarkan manusia untuk berkreasi sesuai dengan akal manusia?

Jawaban dari pertanyaan ini sangat terang, seterang cahaya matahari di siang hari yang cerah. Tentu saja, Islam mengatur hal ini, dengan pengaturan yang sangat rinci. Sebagaimana aturan Islam yang lain, aturan itu terdistribusi dalam lima hukum, yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh dan tentu saja haram. Pada wilayah-wilayah yang wajib dan haram, Islam tidak mengijinkan manusia untuk berkreasi sesuai dengan akalnya. Tetapi pada wilayah-wilayah yang mubah, Islam mengijinkan manusia untuk berkreasi membuat peraturan-peraturan yang canggih untuk kemaslahatan manusia. Peraturan teknis buatan manusia dalam wilayah yang diijinkan Allah ini yang dinamakan hukum ijro’aty, mislanya tentang pengaturan lalu lintas, pembuatan SIM, KTP, dan lain sebagainya.

Hukum-hukum Allah dalam masalah ini sungguh sangat detil dan beragam. Tentang urusan pemerintahan dan politik ini para ulama telah menjelaskan detilnya dalam ribuan kitab-kitab mereka. Misalnya Imam Al-Mawardi dalam kitab beliau Al-Ahkam As-Shultaniyyah Wal Wilayah Ad-Diniyyah, atau Imam Abu Ya’la dalam kitab beliau Al-Ahkam As-Shulthaniyyah, Syeikh Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau AS-Siyasah As-Syar’iyyah fi Islahi Ar-Ro’iy war Roiyyah, Syeikh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dalam kitab beliau Ath-Thuruq Al-Hukmiyah fis Siyasah As-Syar’iyyah, dan ulama-ulama yang lain.

Dalam urusan pemerintahan ini, apakah harus menjalankan hukum Allah atau hukum buatan manusia? Jawabnya sangat jelas, pemerintahan harus menjalankan hukumnya Allah. Terdapat banyak sekali ayat Allah yang menyatakan dengan eksplisit kewajiban berhukum dengan hukum Allah. Misalnya dalam surat Al-Maidah ayat 83: “Berhukumlah diantara mereka dengan apa-apa yang diturunkan Allah, dan jangan engaku ikuti keinginan (ahwa’) mereka karena akan memalingkan mau dari alhaq” dan pada surat Al-Maidah ayat 49: “Dan berhukumlah diantara mereka dengan apa-apa yang diturunkan Allah, dan jangan ikuti keinginan (ahwa’) mereka. Dan berhati-hatilah dengan mereka karena dapat memfitnah (memalingkan) kamu dari sebagian apa-apa yang diturunkan Allah”.

Menurut penjelasan para ulama, misalnya ad Dumaiji dalam kitab Al-Imamah Al-Udzma Inda Ahlis Sunnah Wal Jamaah, pada halaman 48, beliau menjelaskan, “Ayat ini adalah perintah Allah kepada rasul-Nya untuk menerapkan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maksudnya adalah syariah Islam. Perintah Allah kepada rasul-Nya juga berarti perintah Allah kepada umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Dan di sini tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa itu hanya untuk Rasulullah. Maka kaum muslimin wajib menerapkan hukum Allah hingga hari kiamat. Penerapan hukum tidak akan mungkin dapat dilaksanakan, kecuali dengan mengangkat Imam (orang yang melaksanakannya). Penerapan hukum tidak akan pernah sempurna, kecuali dengan jalan adanya Imam. Karena itu, semua ayat yang menyuruh menerapkan hukumnya Allah, berarti perintah Allah untuk menegakkan Imam”.

Pertanyaan berikutnya, apakah benar bahwa pemerintahan Islam itu harus bernama Khilafah? Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa namanya tidak harus Khilafah. Imam Nawawi dalam kitab beliau Raudlatut Tholibin jilid 10 hal 90, beliau menjelaskan:

( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )

“Dibolehkan menyebut Imam dengan sebutan: Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin”.

Syeikh Ibnu Khaldun menjelaskan dalam kitab beliau yang sangat masyhur yaitu Al-Muqoddimah:

وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام )

“Sungguh telah kami jelaskan hakikat jabatan itu, bahwa ia adalah wakil dari pemilik syariah (Allah) untuk menjaga agama dan pengaturan (politik) dunia. Ia dinamakan Khilafah dan Imamah. Orang yang mengendalikannya dinamakan Khalifah atau Imam”.

Dalam kitab Lisanul Arab jilid 9 hal 83, disebutkan:

ويعرف ابن منظور الخلافة بأنها الإمارة

“Ibnu Mandzur mendefinisikan Khilafah dengan Imarah”.

Dan lain sebagainya.

Jadi, nama pemerintahan Islam tidak harus Khilafah, tetapi bisa dengan nama lain, yang penting menggambarkan bahwa sistem itu meruapakan sistem pemerintahan Islam tunggal bagi seluruh kamu muslimin di dunia, dan menerapkan hukum Islam secara paripurna dalam segala aspeknya. Itulah yang disampaikan oleh Syeikh Rusydi Ilyan dalam kitab beliau Al-Islam Wal Khilafah: Bahsun Mau’udliyyun fi Ri’asatid Daulati Muqoronan Bi Ara’i Al-Madzahib Al-Islamiyyah Kaffatan.

Berikutnya, penting untuk dibahas, bisakah sistem pemerintahan demokrasi atau kerajaan yang sekarang ada disebut Khilafah?

Memang sistem pemerintahan Islam tidak harus Khilafah, namanya boleh yang lain seperti Imamah, Imaroh atau yang lain, yang penting fakta yang ditunjuk adalah Khilafah dalam makna yang sesungguhnya. Bahkan sebaliknya, meskipun bernama Khilafah, tetapi sama sekali tidak seperti yang dijelaskan syariah, maka ia sebenarnya bukan Khilafah.

Namun demikian, jenis-jenis sistem pemerintahan tertentu dengan fakta dan filosofi yang berbeda dengan Khilafah, tidak bisa dinamakan Khilafah. Sebab, penyebutan itu akan menimbulkan confused di tengah-tengah umah.

Sekedar contoh ada benda yang faktanya adalah madu. Bolehkah ia dinamakan selain madu? Tentu saja boleh saja. Misalnya dikasih nama “cuit-cuit”, atau apalah. Tetapi, bisakah madu dikasih nama racun? Sebetulnya bisa saja, tetapi pemberian nama seperti ini sangat berbahaya. Ini akan membuat bingung masyarakat dan bisa jadi terjadi kesalahan fatal di tengah-tengah masyarakat.

Jadi, meskipun sistem pemerintahan Islam tidak harus dinamakan Khilafah, tetapi faktanya harus Khilafah. Namun, perlu dicatat, menyebut sistem demokrasi atau kerajaan dengan sebutan Khilafah, itu seperti melabeli ”racun” dengan label “madu”. Orang-orang beriman tidak akan ridlo dengan penamaan itu, dan para pemuja demokrasi juga tidak akan rela. Jadi, meski “nama” itu hanya sekedar “nama”, tetapi sesungguhnya di balik nama itu terdapat fakta dan filosofi yang mendasarinya, sehingga “nama” tidak boleh sembarangan.

Meski demikian, jika kita lihat hadits-hadits Rasulullah, nama yang digunakan beliau adalah Khilafah atau Imamah atau Imaroh, dan pemimpinnya dinamakan Khalifah atau Imam atau amir. Rasulullah bersabda “Imam adalah pengurus; dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim). Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Imam adalah pelindung (bagi rakyatnya).” (HR Muslim). Terkait dengan kata amir, Rasulullah pernah bersabda tentang pembebasan Kota Konstantinopel: “Sebaik-baik Amir adalah Amir (yang membebaskan) Konstatinopel dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya. (HR Ahmad). Kemudian tentang nama Khilafah, Rasulullah banyak menggunakannya, misalnya saat Rasulullah menggambarkan akhir perjalanan umat dengan sabda beliau: “Kemudian akan ada Khilafah berdasarkan metode kenabian.” (HR Ahmad).

Nama-nama inilah yang semestinya digunakan oleh umat Muhammad.

*****

Begitulah, Islam telah menjelaskan dengan amat sangat rinci terkait dengan masalah politik dan pemerintahan. Dengan mengkaji sumber-sumber hukum Islam, baik al qur’an atau al hadits, masalah ini akan tampak sangat jelas, sejelas sinar matahari di siang hari. Apalagi jika kita mengkaji di kitab-kitab ulama yang sangat banyak, di sana telah dibahas masalah ini dengan sangat rinci dan detil. Dengan mengkajinya secara serius, semua orang pasti mendapat kejelasan.

Tetapi, tentu saja, di sana, ada banyak orang yang tidak mau menerima penjelasan dan selalu mencoba mengaburkan penjelasan yang sudah sangat jelas ini.

Selama mereka merindukan kebenaran, penjelasan yang jelas pasti akan memberi kejelasan bagi dirinya. Tapi, bagi orang yang tidak bisa melihat dengan jelas sinar matahari di siang hari yang cerah, tidak akan ada penjelasan yang mampu memberi penjelasan untuk dirinya. Na’udzu billah.

Wallahu a’lam.

Oleh Ustadz Choirul Anam
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.